Wednesday, March 7, 2012

Pejanjian Hudaibiyah

Dari majalah al-furqon tahun 10 edisi 12 oleh: 
Ustadz Abu Hafshoh hafizhahullaahu ta’alaa

Tatkala dakwah al-haq dimusuhi, diperangi, difitnah, dan dihalangi maka akan tampak kemurniannya
Sebagaimana emas murni; keasliannya akan tampak setelah ditempa dengan api yang sangat panas.

MUQADDIMAH
Peristiwa Hudaibiyah –sebagaimana pada edisi sebelumnya- merupakan kemenangan nyata, terlebih lagi dengan tercapainya perjanjian damai antara Quraisy dan kaum muslimin karena Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat radhiyallaahu ‘anhum leluasa menyebarkan dakwah Islam tanpa dihalangi oleh musuh utama selama ini yakni Quraisy.



Terbukti bahwa ketika Islam disebarkan dengan damai tanpa ada yang menghalangi maka banyak yang memeluknya. Sebagai bukti nyata akan hal ini adalah perjanjian damai Hudaibiyah yang hanya berjalan kurang dari 2 tahun (18 bulan) jumlah yang masuk Islam sama dengan jumlah mereka sebelumnya.

Perjanjian damai ini juga merupakan ujian bagi kaum muslimin agar tampak keikhlasan dan kesabaran mereka serta sebagai fitnah bagi kaum kafir yang memusuhinya.

KESEPAKATAN DAMAI
Beberapa kali Quraisy melakukan upaya perundingan dengan mengirim beberapa utusan kepada Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebagian utusan tersebut memahami bahwa Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak bermaksud kecuali umroh dan utusan Quraisy tersebut memohon kepada kafir Quraisy agar mengizinkan mereka umroh. Akan tetapi, mereka tidak percaya dan menolak dengan alasan rasa malu kepada bangsa Arab jika kaum muslimin masuk Makkah dalam keadaan Quraisy terpaksa, hingga akhirnya mereka mengutus Suhail bin Amr.

Tatkala Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat kedatangan Suhail beliau mengatakan, “Kabar gembira bagi kalian wahai sahabat, sesungguhnya urusan kalian telah mudah. Beliau merasa optimis dan berprasangka baik kepada Alloh dengan perantara nama utusan Quraisy tersebut – karena Suhail artinya mudah. Hal ini dalam kitab tauhid dikenal dengan al-fa’l sebagai ganti dan lawan dari perasaan sial atau tathoyyur yang dilakukan oleh bangsa jahiliah.

Suhail berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya aku diutus Quraisy untuk berjanji damai denganmu.” Suhail sengaja memancing emosi Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallaahu ‘anhum dengan mengatakan, “Pernahkah kamu mendengar bangsa Arab, wahai Muhammad, bahwa ada yang memerangi dan menghabisi kaumnya? Dan jika ternyata engkau kalah maka sungguh aku  melihat bahwa sahabat-sahabatmu ini para penakut, lemah, dan akan lari meninggalkanmu.” Maka Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu marah dan menjawabnya, “Gigitlah kemaluan Lara patung berhala sesembahanmu, apakah kami akan lari dan meninggalkan Rosululloh?!”

Allohu Akbar, Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu –yang terkenal sangat santun dan lembut – tidak diam terhadap perkataan jelek dari wakil Quraisy tersebut.

Di antara kejelekan akhlak Suhail bahwa setiap kali berbicara selalu selalu memegang jenggot Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka Mughiroh bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu memukul tangannya seraya mengatakan, “Jauhkan tanganmu dari jenggot Rosululloh atau kutebas dengan pedang.”

Sebagian di antara utusan Quraisy mengatakan ketaatan dan kecintaan para sahabat radhiyallaahu ‘anhum kepada Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam, sampai-sampai bila beliau berwudhu maka para sahabat radhiyallaahu ‘anhum berebut untuk mengambil sisa wudhunya dan bahkan jika beliau meludah maka mereka berebut mengambilnya dan mengusapkan ke tubuh mereka untuk tabarruk (mengharap berkah). Tabarruk semacam ini hanya khusus bagi sahabat kepada Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam saja dan tidak boleh diqiyaskan kepada orang-orang shalih selain beliau.

Ketika para utusan itu kembali kepada Quraisy mereka berkata, “Demi Alloh, sungguh aku telah datang menemui para raja Kisro, Kaisar, Najasyi, tetapi –demi Alloh- aku tidak pernah melihat seorang pun raja yang diagungkan oleh kaumnya seperti pengagungan sahabat Muhammad kepadanya.”

Ketika perjanjian Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ali bin Abi Tholib radhiyallaah ‘anhu menjadi juru tulis perjanjian tersebut seraya mengatakan kepadanya, “Tulislah ‘Bismillahirrohmanirrohim. Ini perjanjian damai antara Rosululloh dengan Quraisy.’” Suhail mengingkari dua kalimat tersebut dengan mengatakan, “Kami tidak mengenal ar-Rohman, tetapi tulislah ‘Bismika Allohumma,’ dan kami tidak mengakuimu sebagai seorang nabi sebab seandainya kami mengetahui bahwa kamu seorang nabi maka kami tidak akan menghalangimu dari Ka’bah, tetapi tulislah ‘Muhammad bin Abdulloh.’ Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintah Ali radhiyallaahu ‘anhu agar menghapus dan menggantinya, tetapi Ali keberatan untuk melakukannya hingga Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menghapusnya dan mengganti sesuai dengan permintaan wakil Quraisy tersebut.

Di antara isi perjanjian damai Hudaibiyah ini adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin kembali ke Madinah dan tidak boleh menunaikan umroh pada tahun ini, tetapi boleh umroh pada tahun depan dengan tidak menghunus pedang dan hanya tiga hari berada di Makkah.
2. Selama 10 tahun gencatan senjata (tidak boleh terjadi perang antara Quraisy dan kaum muslimin) sehingga manusia merasa aman.
3. Diperbolehkan bagi kabilah mana pun untuk bergabung dengan Muhammad atau Quraisy.
4. Atas dasar ini maka Bani Khuza’ah menyatakan bergabung dengan kaum muslimin, sedangkan Bani Bakr begabung dengan Quraisy. Dan kedua kabilah inilah yang nantinya menjadi sebab terjadinya perang Fathu Makkah.
5. Siapa saja yang datang dari Makkah ke Madinah maka tidak boleh diterima oleh kaum muslimin, tetapi harus dikembalikan kepada Quraisy di Makkah. Sebaliknya, siapa saja yang datang dari Madinah ke Makkah maka Quraisy tidak mengembalikannya ke Madinah.

Di tengah penulisan janji perdamaian ini datanglah Abu Jandal bin Suhail dalam keadaan dibelenggu yang lari dari kaumnya di Makkah untuk meminta perlindungan kepada kaum muslimin. Akan tetapi, Suhail bersikeras memaksa Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk mengembalikannya ke Makkah sekalipun penulisan janji belum selesai dan belum berlaku. Datang pula kaum wanita seperti Ummu Kultsum binti Uqbah, tetapi tidak dikembalikan ke Makkah sebab akad pernjanjian hanya berlaku untuk kaum lelaku saja.

Sebagian pasukan Quraisy berusaha untuk menggagalkan upaya perdamaian ini dengan menyerang kaum muslimin di saat penulisan akad, tetapi para sahabat berhasil menangkap mereka.

Perjanjian Hudaibiyah merupakan ujian bagi kaum muslimin dan merupakan finah bagi kaum kafir, Mengapa demikian?

SIKAP PARA SAHABAT TERHADAP ISI PERJANJIAN
Para sahabat –yang melihat sekilas tentang isi perjanjian di atas- tidak menerima karena tampaknya menguntungkan sebelah pihak bahkan secara umum hampir semuanya untuk kemaslahatan Quraisy semata tanpa ada bagian kaum muslimin sehingga Umar bin Khoththob radhiyallaahu ‘anhu mendatangi Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan protes [kurang setuju] kepada beliau seraya mengatakan, “Wahai Rosululloh, bukankah kita ini berada di atas kebenaran sedang mereka di atas kebatilan?” Jawab Rosululloh, “Benar.” Umar mengatakan, “Jika demikian, lalu kenapa kita mengalah dalam agama kita dari musuh-musuh kita?” Jawab Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya aku ini nabinya Alloh yang tidak mungkin kumaksiati dan Alloh pasti menolongku.” Artinya, jika apa yang dilakukan oleh Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam perjanjian ini tidak sesuai dengan hukum Alloh maka pasti Alloh menegurnya pada saat itu juga, sebagaimana pada peristiwa-peristiwa lain yang jika beliau salah maka langsung turun wahyu dari Alloh yang membenarkannya.
Umar radhiyallaahu ‘anhu belum merasa [cukup] puas dengan jawaban Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu datang kepada Abu Bakr radhiyallaahu ‘anhu dan berkata seperti apa yang dikatakannya kepada Rosululloh dan Abu Bakr menjawab seperti jawaban beliau. Ini menunjukkan keutamaan Abu Bakr yang hatinya sama dengan hati Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam padahal beliau tidak mendengar jawaban ini dari Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Itulah perasaan gelisah yang meliputi para sahabat radhiyallaahu ‘anhum karena keinginan mereka untuk menunaikan umroh atau berperang  melawan Quraisy hingga titik darah penghabisan apalagi mereka telah bai’at setia untuk perang.

Jika apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam perjanjian ini tidak sesuai dengan hukum Alloh maka pasti Alloh menegurnya pada saat itu juga.

PELAJARAN DARI ISI PERJANJIAN
Isi perdamaian tersebut pelajaran yang banyak di antaranya:
1. Musuh mengajak berdamai, menunjukkan kelemahannya dan ada tanda-tanda kebaikan darinya.

2. Poin pertama menunjukkan harapan bagi kaum muslimin untuk umroh tahun depan dalam keadaan diberi jaminan keamanan oleh musuh mereka yang selama ini tidak melihat sahabat di Makkah kecuali disiksa atau diusir.

3. Poin yang kedua menunjukkan bahwa 10 tahun waktu yang cukup lama untuk menyebarkan dakwah dengan aman. Dan harus ada batas perdamaian antara ahli Islam dengan ahli kufur sebab tidak boleh berdamai selamanya karena Islam datang untuk memerangi kekafiran.

4. Poin yang ketiga meruntuhkan kewibawaan Quraisy karena memberi kesempatan kepada semua kabilah kufur untuk menentukan pilihan padahal selama ini tunduk kepada Quraisy. Oleh karena itu, Bani Khuza’ah menunjukkan keberaniannya bersekutu dengan kaum muslimin dan meninggalkan sekutunya yang lama yaitu Quraisy.

5. Poin yang keempat berarti bahwa yang datang ke Madinah dari Makkah dikembalikan karena Allah akan memberi mereka jalan keluar dengan kesabaran mereka, sedang yang datang ke Makkah dari Madinah menunjukkan dia munafik dan tidak dibutuhkan oleh Islam maka hikmah ilahiyyah menuntut untuk tidak dikembalikan ke Madinah. Poin ini sangat mengganjal perasaan para sahabat radhiyallaahu ‘anhum sebelum mereka memahami hikmahnya.

Oleh karena itu, di antara mereka berkata, “Wahai kaum muslimin, curigailah akal kalian sebab kami menilai perjanjian Hudaibiyah sebagai sesuatu yang tidak wajar, ternyata Alloh membuktikan sebagai hari kemenangan sesuai dengan janji-Nya dalam Surah al-Fath.”

TAHALLUL DAN KEMBALI KE MADINAH
Setelah terjadi kesepakatan tersebut Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat radhiyallaahu ‘anhum untuk tahallul dari umroh dengan menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut mereka. Akan tetapi, para sahabat radhiyallaahu ‘anhum tidak langsung menaati beliau karena kegelisahan mereka terhadap kesepakatan tersebut. Hingga Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka tiga kali pun tetap belum ditaati. Maka Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anhaa menyarankan kepada beliau agar menyembelih dan mencukur rambutnya di hadapan mereka sehingga jika mereka melihat Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu pasti mereka akan mengikuti beliau. Benar, setelah mereka melihat beliau mereka berlomba-lomba menyembelih dan mencukur rambut mereka. Ini pelajaran bahwa terkadang wanita mengetahui apa yang tidak diketahui oleh laki-laki dan bahwasanya perbuatan lebih berpengaruh daripada perkataan semata.

Kemudian mereka berangkat pulang ke Madinah dan di tengah jalan turun Surah al-Fath di mana Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam sangat gembira dengan turunnya surah ini dan para sahabat terobati perasaan gundah mereka dan bahwasanya Alloh dan Rosul-Nya maha benar dan ro’yu adalah tercela dan batil terhadap wahyu.

IBROH
1. Bolehnya berdamai dengan kaum kafir dengan batas waktu tertentu dan tidak boleh selamanya sebab pokok ajaran Islam adalah perang dengan kafir bukan damai. Hal ini menyelisihi pandangan sebagian dai yang tidak membolehkan damai antara muslimini Palestina dengan kaum Yahudi.

2. Boleh mengalah dan menerima syarat orang kafir  demi meraih maslahat yang lebih besar.

3. Keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu di atas semua sahabat radhiyallaahum sebab beliau mencocoki Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam segala hal dan kesempurnaan shidiqiyyah beliau dalam kejujuran dan membenarkan Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam.

4. Kegelisahan para sahabat radhiyallaahu ‘anhum dibangun di atas keimanan mereka yang tinggi dan baro’ mereka terhadap orang-orang kafir.

Keputusan Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam dibangun di atas wahyu sedangkan kegelisahan para sahabat dibangun di atas ro’yu (akal pikiran).

Alhamdulillah, selesai diketik ulang 12 Rabi’ul Awwal 1433
AHaS
Editan I (14 Rabi’ul Awwal 1433)

No comments:

Post a Comment

Silahkan menyampaikan nasehat, petuah, saran. Syukron

 
;