Dari majalah
al-furqon tahun 10 edisi 12 oleh:
Ustadz Abu Hafshoh hafizhahullaahu ta’alaa
Tatkala dakwah al-haq dimusuhi, diperangi, difitnah, dan
dihalangi maka akan tampak kemurniannya
Sebagaimana emas murni; keasliannya akan tampak setelah
ditempa dengan api yang sangat panas.
MUQADDIMAH
Peristiwa Hudaibiyah –sebagaimana pada edisi sebelumnya- merupakan
kemenangan nyata, terlebih lagi dengan tercapainya perjanjian damai antara
Quraisy dan kaum muslimin karena Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
para shahabat radhiyallaahu ‘anhum leluasa menyebarkan dakwah Islam
tanpa dihalangi oleh musuh utama selama ini yakni Quraisy.
Terbukti bahwa ketika Islam disebarkan dengan damai tanpa ada yang
menghalangi maka banyak yang memeluknya. Sebagai bukti nyata akan hal ini
adalah perjanjian damai Hudaibiyah yang hanya berjalan kurang dari 2 tahun (18
bulan) jumlah yang masuk Islam sama dengan jumlah mereka sebelumnya.
Perjanjian damai ini juga merupakan ujian bagi kaum muslimin agar
tampak keikhlasan dan kesabaran mereka serta sebagai fitnah bagi kaum kafir
yang memusuhinya.
KESEPAKATAN DAMAI
Beberapa kali Quraisy melakukan upaya perundingan dengan mengirim
beberapa utusan kepada Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebagian
utusan tersebut memahami bahwa Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak
bermaksud kecuali umroh dan utusan Quraisy tersebut memohon kepada kafir
Quraisy agar mengizinkan mereka umroh. Akan tetapi, mereka tidak percaya dan
menolak dengan alasan rasa malu kepada bangsa Arab jika kaum muslimin masuk
Makkah dalam keadaan Quraisy terpaksa, hingga akhirnya mereka mengutus Suhail
bin Amr.
Tatkala Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat
kedatangan Suhail beliau mengatakan, “Kabar gembira bagi kalian wahai sahabat,
sesungguhnya urusan kalian telah mudah. Beliau merasa optimis dan berprasangka
baik kepada Alloh dengan perantara nama utusan Quraisy tersebut – karena Suhail
artinya mudah. Hal ini dalam kitab tauhid dikenal dengan al-fa’l sebagai
ganti dan lawan dari perasaan sial atau tathoyyur yang dilakukan oleh
bangsa jahiliah.
Suhail berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya aku diutus Quraisy untuk
berjanji damai denganmu.” Suhail sengaja memancing emosi Rosululloh shallallaahu
‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallaahu ‘anhum dengan
mengatakan, “Pernahkah kamu mendengar bangsa Arab, wahai Muhammad, bahwa ada
yang memerangi dan menghabisi kaumnya? Dan jika ternyata engkau kalah maka
sungguh aku melihat bahwa
sahabat-sahabatmu ini para penakut, lemah, dan akan lari meninggalkanmu.” Maka
Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu marah dan menjawabnya, “Gigitlah kemaluan
Lara patung berhala sesembahanmu, apakah kami akan lari dan meninggalkan
Rosululloh?!”
Allohu Akbar, Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu –yang terkenal
sangat santun dan lembut – tidak diam terhadap perkataan jelek dari wakil
Quraisy tersebut.
Di antara kejelekan akhlak Suhail bahwa setiap kali berbicara selalu
selalu memegang jenggot Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka
Mughiroh bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu memukul tangannya seraya
mengatakan, “Jauhkan tanganmu dari jenggot Rosululloh atau kutebas dengan
pedang.”
Sebagian di antara utusan Quraisy mengatakan ketaatan dan kecintaan
para sahabat radhiyallaahu ‘anhum kepada Rosululloh shallallaahu
‘alaihi wasallam, sampai-sampai bila beliau berwudhu maka para sahabat radhiyallaahu
‘anhum berebut untuk mengambil sisa wudhunya dan bahkan jika beliau meludah
maka mereka berebut mengambilnya dan mengusapkan ke tubuh mereka untuk tabarruk
(mengharap berkah). Tabarruk semacam ini hanya khusus bagi sahabat kepada
Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam saja dan tidak boleh diqiyaskan
kepada orang-orang shalih selain beliau.
Ketika para utusan itu kembali kepada Quraisy mereka berkata, “Demi Alloh,
sungguh aku telah datang menemui para raja Kisro, Kaisar, Najasyi, tetapi –demi
Alloh- aku tidak pernah melihat seorang pun raja yang diagungkan oleh kaumnya
seperti pengagungan sahabat Muhammad kepadanya.”
Ketika perjanjian Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
Ali bin Abi Tholib radhiyallaah ‘anhu menjadi juru tulis perjanjian
tersebut seraya mengatakan kepadanya, “Tulislah ‘Bismillahirrohmanirrohim. Ini
perjanjian damai antara Rosululloh dengan Quraisy.’” Suhail mengingkari dua
kalimat tersebut dengan mengatakan, “Kami tidak mengenal ar-Rohman, tetapi
tulislah ‘Bismika Allohumma,’ dan kami tidak mengakuimu sebagai seorang nabi
sebab seandainya kami mengetahui bahwa kamu seorang nabi maka kami tidak akan
menghalangimu dari Ka’bah, tetapi tulislah ‘Muhammad bin Abdulloh.’ Rosululloh shallallaahu
‘alaihi wasallam memerintah Ali radhiyallaahu ‘anhu agar menghapus
dan menggantinya, tetapi Ali keberatan untuk melakukannya hingga Rosululloh shallallaahu
‘alaihi wasallam sendiri yang menghapusnya dan mengganti sesuai dengan
permintaan wakil Quraisy tersebut.
Di antara isi perjanjian damai Hudaibiyah ini adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin kembali ke Madinah dan tidak boleh menunaikan umroh
pada tahun ini, tetapi boleh umroh pada tahun depan dengan tidak menghunus
pedang dan hanya tiga hari berada di Makkah.
2. Selama 10 tahun gencatan senjata (tidak boleh terjadi perang antara
Quraisy dan kaum muslimin) sehingga manusia merasa aman.
3. Diperbolehkan bagi kabilah mana pun untuk bergabung dengan Muhammad
atau Quraisy.
4. Atas dasar ini maka Bani Khuza’ah menyatakan bergabung dengan kaum
muslimin, sedangkan Bani Bakr begabung dengan Quraisy. Dan kedua kabilah inilah
yang nantinya menjadi sebab terjadinya perang Fathu Makkah.
5. Siapa saja yang datang dari Makkah ke Madinah maka tidak boleh
diterima oleh kaum muslimin, tetapi harus dikembalikan kepada Quraisy di
Makkah. Sebaliknya, siapa saja yang datang dari Madinah ke Makkah maka Quraisy
tidak mengembalikannya ke Madinah.
Di tengah penulisan janji perdamaian ini datanglah Abu Jandal bin
Suhail dalam keadaan dibelenggu yang lari dari kaumnya di Makkah untuk meminta
perlindungan kepada kaum muslimin. Akan tetapi, Suhail bersikeras memaksa
Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk mengembalikannya ke
Makkah sekalipun penulisan janji belum selesai dan belum berlaku. Datang pula
kaum wanita seperti Ummu Kultsum binti Uqbah, tetapi tidak dikembalikan ke
Makkah sebab akad pernjanjian hanya berlaku untuk kaum lelaku saja.
Sebagian pasukan Quraisy berusaha untuk menggagalkan upaya perdamaian
ini dengan menyerang kaum muslimin di saat penulisan akad, tetapi para sahabat
berhasil menangkap mereka.
Perjanjian Hudaibiyah merupakan ujian bagi kaum muslimin dan
merupakan finah bagi kaum kafir, Mengapa demikian?
SIKAP PARA SAHABAT TERHADAP ISI PERJANJIAN
Para sahabat –yang melihat sekilas tentang isi perjanjian di atas-
tidak menerima karena tampaknya menguntungkan sebelah pihak bahkan secara umum
hampir semuanya untuk kemaslahatan Quraisy semata tanpa ada bagian kaum
muslimin sehingga Umar bin Khoththob radhiyallaahu ‘anhu mendatangi
Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan protes [kurang
setuju] kepada beliau seraya mengatakan, “Wahai Rosululloh, bukankah kita ini
berada di atas kebenaran sedang mereka di atas kebatilan?” Jawab Rosululloh,
“Benar.” Umar mengatakan, “Jika demikian, lalu kenapa kita mengalah dalam agama
kita dari musuh-musuh kita?” Jawab Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam,
“Sesungguhnya aku ini nabinya Alloh yang tidak mungkin kumaksiati dan Alloh
pasti menolongku.” Artinya, jika apa yang dilakukan oleh Rosululloh shallallaahu
‘alaihi wasallam dalam perjanjian ini tidak sesuai dengan hukum Alloh maka
pasti Alloh menegurnya pada saat itu juga, sebagaimana pada peristiwa-peristiwa
lain yang jika beliau salah maka langsung turun wahyu dari Alloh yang
membenarkannya.
Umar radhiyallaahu ‘anhu belum merasa [cukup] puas dengan
jawaban Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu datang kepada Abu
Bakr radhiyallaahu ‘anhu dan berkata seperti apa yang dikatakannya
kepada Rosululloh dan Abu Bakr menjawab seperti jawaban beliau. Ini menunjukkan
keutamaan Abu Bakr yang hatinya sama dengan hati Rosululloh shallallaahu
‘alaihi wasallam padahal beliau tidak mendengar jawaban ini dari Rosululloh
shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Itulah perasaan gelisah yang meliputi para sahabat radhiyallaahu
‘anhum karena keinginan mereka untuk menunaikan umroh atau berperang melawan Quraisy hingga titik darah
penghabisan apalagi mereka telah bai’at setia untuk perang.
Jika apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dalam perjanjian ini tidak sesuai dengan hukum Alloh maka pasti Alloh
menegurnya pada saat itu juga.
PELAJARAN DARI ISI PERJANJIAN
Isi perdamaian tersebut pelajaran yang banyak di antaranya:
1. Musuh mengajak berdamai, menunjukkan kelemahannya dan ada
tanda-tanda kebaikan darinya.
2. Poin pertama menunjukkan harapan bagi kaum muslimin untuk umroh
tahun depan dalam keadaan diberi jaminan keamanan oleh musuh mereka yang selama
ini tidak melihat sahabat di Makkah kecuali disiksa atau diusir.
3. Poin yang kedua menunjukkan bahwa 10 tahun waktu yang cukup lama
untuk menyebarkan dakwah dengan aman. Dan harus ada batas perdamaian antara
ahli Islam dengan ahli kufur sebab tidak boleh berdamai selamanya karena Islam
datang untuk memerangi kekafiran.
4. Poin yang ketiga meruntuhkan kewibawaan Quraisy karena memberi
kesempatan kepada semua kabilah kufur untuk menentukan pilihan padahal selama
ini tunduk kepada Quraisy. Oleh karena itu, Bani Khuza’ah menunjukkan
keberaniannya bersekutu dengan kaum muslimin dan meninggalkan sekutunya yang
lama yaitu Quraisy.
5. Poin yang keempat berarti bahwa yang datang ke Madinah dari Makkah
dikembalikan karena Allah akan memberi mereka jalan keluar dengan kesabaran
mereka, sedang yang datang ke Makkah dari Madinah menunjukkan dia munafik dan
tidak dibutuhkan oleh Islam maka hikmah ilahiyyah menuntut untuk tidak
dikembalikan ke Madinah. Poin ini sangat mengganjal perasaan para sahabat radhiyallaahu
‘anhum sebelum mereka memahami hikmahnya.
Oleh karena itu, di antara mereka berkata, “Wahai kaum muslimin,
curigailah akal kalian sebab kami menilai perjanjian Hudaibiyah sebagai sesuatu
yang tidak wajar, ternyata Alloh membuktikan sebagai hari kemenangan sesuai
dengan janji-Nya dalam Surah al-Fath.”
TAHALLUL DAN KEMBALI KE MADINAH
Setelah terjadi kesepakatan tersebut Rosululloh shallallaahu
‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat radhiyallaahu ‘anhum untuk
tahallul dari umroh dengan menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut mereka.
Akan tetapi, para sahabat radhiyallaahu ‘anhum tidak langsung menaati
beliau karena kegelisahan mereka terhadap kesepakatan tersebut. Hingga
Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka tiga kali pun
tetap belum ditaati. Maka Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anhaa menyarankan
kepada beliau agar menyembelih dan mencukur rambutnya di hadapan mereka
sehingga jika mereka melihat Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan
hal itu pasti mereka akan mengikuti beliau. Benar, setelah mereka melihat
beliau mereka berlomba-lomba menyembelih dan mencukur rambut mereka. Ini
pelajaran bahwa terkadang wanita mengetahui apa yang tidak diketahui oleh
laki-laki dan bahwasanya perbuatan lebih berpengaruh daripada perkataan semata.
Kemudian mereka berangkat pulang ke Madinah dan di tengah jalan turun
Surah al-Fath di mana Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam sangat
gembira dengan turunnya surah ini dan para sahabat terobati perasaan gundah
mereka dan bahwasanya Alloh dan Rosul-Nya maha benar dan ro’yu adalah
tercela dan batil terhadap wahyu.
IBROH
1. Bolehnya berdamai dengan kaum kafir dengan batas waktu tertentu dan
tidak boleh selamanya sebab pokok ajaran Islam adalah perang dengan kafir bukan
damai. Hal ini menyelisihi pandangan sebagian dai yang tidak membolehkan damai
antara muslimini Palestina dengan kaum Yahudi.
2. Boleh mengalah dan menerima syarat orang kafir demi meraih maslahat yang lebih besar.
3. Keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu di atas
semua sahabat radhiyallaahum sebab beliau mencocoki Rosululloh shallallaahu
‘alaihi wasallam dalam segala hal dan kesempurnaan shidiqiyyah beliau
dalam kejujuran dan membenarkan Rosululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam.
4. Kegelisahan para sahabat radhiyallaahu ‘anhum dibangun di
atas keimanan mereka yang tinggi dan baro’ mereka terhadap orang-orang
kafir.
Keputusan Rosululloh shallallaahu ‘alaihi
wasallam dibangun di atas wahyu sedangkan kegelisahan para sahabat dibangun di
atas ro’yu (akal pikiran).
Alhamdulillah, selesai diketik ulang 12 Rabi’ul Awwal 1433
AHaS
Editan I (14 Rabi’ul Awwal 1433)
No comments:
Post a Comment
Silahkan menyampaikan nasehat, petuah, saran. Syukron